Breaking News

Kamis, 10 September 2015

Sejarah Hadirnya Radio dan Perkembangan Radio di Indonesia

Sebagai pendengar radio, saya mengucapkan "Selamat Hari Radio Nasional Sekali di Udara Tetap di Udara". Sebagai bukti kegemaran saya mendengarkan radio, saya akan sedikit berbagai kepada kepada Anda tentang Sejarah Hadirnya Radio dan Perkembangan Radio di Indonesia.

Munculnya radio tak lepas dari penggunaan sinyal elektromagnetik untuk mengirimkan informasi. Mulai dari sekedar eksperimen ilmiah, hingga menjadi industri bisnis, radio telah banyak berperan sebagai media penyiaran yang mempengaruhi konstelasi sosial dan politik di dunia, setidaknya hingga saat ini.

Di Indonesia, penyiaran radio telah berlangsung sejak zaman kolonial Belanda. Radio berkembang dari media propaganda kolonial Belanda dan Jepang, media penyiaran pemerintah, hingga menjadi hiburan teman macet sekaligus media biar tetap update dan eksis di masyarakat.

Lahirnya Siaran Radio


Konsep radio yang kita kenal berawal dari Heinrich Rudolf Hertz. Memanfaatkan spektrum frekuensi dan properti gelombang elektromagnetik, Hertz menunjukkan bahwa kita dapat mengirimkan informasi dalam jarak tertentu. Keberhasilan Hertz membuat para fisikawan mengajukan penggunaan gelombang dari Hertz sebagai cara navigasi atau komunikasi secara nirkabel.

Penemu muda Italia bernama Guglielmo Marconi merupakan sosok terkenal sebagai penemu radio. Marconi sebenarnya pencipta sistem telegrafi nirkabel komersil menggunakan gelombang radio yang diajukan oleh Hertz. Pada Agustus 1895, Marconi menguji sistem yang ia ajukan dan mampu mengirim sinyal jangkauan 800 meter. Dengan meninggikan letak antena, sistem telegrafi Marconi mampu mengirimkan sinyal menjangkau 3,2 km. Pada Juni 1912, Marconi membuka pabrik radio pertama di dunia yang terletak di Chelmsford, Inggris.

Radio pertama yang menyiarkan program berita adalah stasiun 8MK di Detroit, Michigan. Siaran tersebut berlangsung pada 31 Agustus 1920 stasiun 8 MK masih mengudara hingga kini dibawah kepemilikan jaringan bisnis CBS.

Siaran Radio Masuk Indonesia


Penyiaran radio komersil berkembang di Eropa dan Amerika Serikat pada 1920-an dan menyebar ke Indonesia. Stasiun radio Bataviase Radio Vereeniging (BRV) yang menjadi stasiun radio siaran pertama di Indonesia yang resmi berdiri pada 16 Juni 1925. BRV bertujuan menyampaikan siaran propaganda terkait perusahaan dan perdagangan.

Para pemuda Indonesia juga berinisiatif mendirikan stasiun radio. Berawal dari pendirian Solosche Radio Vereeniging (SRV) di Solo pada 1933, berbagai stasiun radio muncul menyiarkan acara kesenian dan kebudayaan Indonesia. Pergerakan kebangsaan yang semakin menguat membuat masuknya unsur politik sebagai upaya propaganda dalam siaran stasiun radio dari Indonesia.

Pesatnya pertumbuhan radio membuat pemerintah Belanda menetapkan aturan penyiaran radio bernama “Radiowet” pada tahun 1934. Aturan ini diiringi dengan pendirian perkumpulan radio bernama NIROM atau Nederlands Indische Radio Omroep. Secara umum, program yang disiarkan meliputi hiburan, pidato, uraian, dan ceramah. Melalui NIROM, pemerintah kolonial Belanda berusaha menyebarkan doktrin terkait politik etis untuk mengimbangi peningkatan pergerakan kebangsaan di Indonesia.

Pada 8 Maret 1942, militer Jepang resmi menduduki Indonesia setelah Belanda menyatakan menyerah. Keadaan ini membuat semua stasiun radio swasta diurus oleh Pusat Jawatan Radio yang khusus dibentuk pemerintahan Jepang. Pusat jawatan ini memiliki cabang di berbagai kota dan kabupaten.

Selama pendudukan militer Jepang, stasiun radio banyak menyiarkan program yang memihak kepentingan militer Jepang. Meski begitu, kebudayaan dan kesenian Indonesia mendapat perhatian yang jauh lebih baik. Radio menjadi kesempatan untuk menyiarkan kebudayaan dan kesenian dalam porsi yang jauh lebih besar. Pada era ini, muncul juga berbagai pencipta lagu Indonesia.

Dibawah wewenang militer Jepang, siaran radio hanya dilakukan menggunakan dua bahasa: bahasa Jepang dan Indonesia. Radio juga menjadi media untuk mengajarkan cara bersikap ala Jepang seperti semangat kesatria, taat dan hormat pada orang tua, serta taat pada pemimpin dan raja. Setiap pagi, militer Jepang menerapkan latihan militer dan pendidikan jasmani secara massal lewat komando radio. Pelajar dan pegawai umumnya melakukan senam sebelum memulai aktivitas dipandu siaran radio bernama “Radio Taiso”.

Pendirian RRI


Meski banyak stasiun radio yang dilarang mengudara dan akses terhadap radio luar negeri ditutup militer Jepang, beberapa pemuda Indonesia mencari cara mengakses radio luar negeri untuk mengikuti perkembangan terbaru situasi politik internasional.

Sejak Juli 1945, pemuda di Indonesia terus mengikuti informasi terbaru situasi Perang Dunia II. Pada 26 Juli 1945, radio BBC London menyiarkan berita bahwa sekutu mengeluarkan ultimatum pertama kepada Jepang. Kabar ini membangkitkan harapan para pejuang kemerdekaan untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Pada 14 Agustus 1945, BBC menyiarkan berita menyerahnya Jepang tanpa syarat oleh Tenno Heika.

Berita menyerahnya Jepang mendorong para pemuda bergerak mendesak para pemimpin perjuangan kemerdekaan Indonesia agar segera memproklamasikan kemerdekaan. Akan tetapi, keraguan muncul karena pemerintah Jepang seolah menutup-nutupi kabar ini. Mereka juga menyensor materi siaran terkait Jepang di setiap stasiun radio.

Desakan merdeka dari kalangan pemuda ini menimbulkan ketegangan hingga memicu peristiwa yang dikenal peristiwa rengasdengklok. Singkat cerita, Indonesia resmi memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 dan seluruh kegiatan stasiun radio Jepang di Indonesia dihentikan kegiatannya sejak 19 Agustus 1945.

Tak lama setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, beberapa sosok penting mengadakan pertemuan untuk menggagas pendirian stasiun radio di Indonesia. Pertemuan ini berlangsung di rumah Adang Kadarusman, wilayah Menteng. Pertemuan ini menghasilkan keputusan pendirian Radio Republik Indonesia atau RRI. Pada 11 September 1945 RRI resmi berdiri dan Abdul Rahman Saleh ditunjuk sebagai direktur umum.

Perkembangan Radio di Indonesia

 

Pendirian RRI dilandasi komitmen untuk menjadi lembaga penyiaran publik yang independen, netral, mandiri dan berorientasi pada kepentingan masyarakat. Sebagai stasiun radio milik negara, sekaligus stasiun radio siaran pertama, RRI memonopoli siaran radio di Indonesia hingga perubahan situasi politik tahun 1965.

Pada era 1960-an, berkembang banyak radio amatir di Indonesia yang kemudian menjadi cikal bakal kemunculan radio swasta di Indonesia. Berawal sekedar hobi dan berinteraksi dengan masyarakat, radio amatir kemudian mengalami perkembangan menjadi Radio Siaran Swasta.

Pada era orde baru, radio menjadi semakin diminati. Pemerintah kemudian mengakui Radio Siaran Swasta dan disahkan melalui Peraturan Pemerintah RI No. 55 Tahun 1970, tentang Radio Siaran Non Pemerintah. Melalui aturan ini, pemerintah meminta radio memiliki kelembagaan sebagai Perseroan Terbatas (PT).

Pesatnya pertumbuhan radio siaran swasta di Indonesia di era 70-an membuat situasi siaran radio menjadi semakin kompleks. Oleh karena itu, para tokoh asosiasi dan radio siaran swasta di Indonesia menggagas Kongres Radio Siaran Swasta Indonesia pertama pada tanggal 16-17 Desember 1974. Kongres ini secara resmi melahirkan Persatuan Radio Siaran Swasta Niaga Indonesia (PRSSNI). Pada 1983, organisasi ini mengalami perubahan nama menjadi Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia.

Radio siaran swasta terus berkembang hingga kini. Menurut data PRSSNI 2011, terdapat sekitar 2590 lembaga penyiaran radio di Indonesia. Selain menyiarkan program berbahasa Indonesia, beberapa stasiun radio terkadang menyiarkan program atau siaran berita dari luar negeri.

Kemunculan teknologi digital membuat banyak stasiun radio Indonesia menyediakan fasilitas penyiaran streaming audio bagi para pendengar. Dengan fasilitas ini, siaran mereka tak hanya didengarkan oleh para pendengar di wilayah jangkauan frekuensi mereka, tapi juga kepada pendengar di seluruh dunia yang terkoneksi internet.

Read more ...

Rabu, 09 September 2015

Sejarah Situ Cibeureum Tasikmalaya

Kalau ingin ini saya akan berbagi cerita tentang situ Cibeureum. Kalau ingat situ Cibeureum saya selalu ingat tentang Pesantren kecil yang letaknya tepat di pinggir barat situ Cibeureum yaitu Pesantren Kang Johar, ulama salafi ahli palaq di Tasikmalaya. Yang kebetulan beliau adalah teman dari guru saya KH. Dede Imron di Al-Falah Condong. Jadi kalau masalah palaq kedua ulama akhirat selalu bertukar ilmu palaq, dan saya selalu di suruh guru saya untuk mengantarkan hasil ru'yat ke pesantren Kang Johar di Situ Cibuereum, dan ini selalu di manfaatkan untuk sekalian refreshing di Situ Cibereum. :D

Situ Cibeureum yang berada di Kampung Tamansari, Kel. Tamanjaya, Kec. Tamansari, Kota Tasikmalaya, merupakan salah satu situ yang menjadi kebanggaan warga Kota Tasikmalaya. Dari sudut pariwisata, objek wisata Situ Cibeureum tersebut sangatlah berarti bagi warga di sekitarnya. Dari situ inilah, nasib ratusan hektar sawah dan kolam ikan mereka bergantung dari situ tersebut.

Situ yang berada tidak jauh dari pusat kota Tasikmalaya tersebut dibutuhkan perhatian pemerintah setempat, jika pemerintah ada i'tikad serius untuk menjadikan situ tersebut menjadi kawasan obyek wisata andalan. Sehubungan potensi dari situ tersebut memiliki eksotis pesona alamnya yang masih perawan. Tidak lepas dari potensinya yang banyak memberikan manfaat bagi masyarakat sekitarnya, ternyata Situ Cibeureum menyimpan cerita tersendiri. Apalagi di Nusa Pangepulan, yaitu daratan yang berada di tengah-tengah situ tersebut, terdapat sejumlah makam keramat, termasuk makam Ki Bagus Djamri yang konon disebut-sebut sebagai tokoh pertama yang membuat Situ Cibeureum.

Nusa Pangepulan sendiri, saat ini dikenal sebagai Bumi Perkemahan yang kerap dijadikan acara kegiatan para kader Pramuka Kota/Kab. Tasikmalaya. Menurut Kuncen Situ Cibeureum, Atang (60), sekitar 500 tahun lalu atau sekitar abad 15 Masehi, tinggallah seorang tokoh tua di era kebataraan Galunggung, yakni seorang tokoh agama jaman Hindu yang dikenal dengan sebutan Ki Bagus Djamri.

Beliau tidak diceritakan asalnya darimana, tetapi berniat menyepi di suatu daerah Pegunungan untuk mendekatkan diri pada sang Maha Kuasa. Tibalah Ki Bagus Djamri itu di suatu tempat yang menurutnya sama persis dengan yang diimpikan, yaitu sebuah pegunungan yang memiliki kolam.

Suatu hari, Ki Bagus Djamri bermimpi bahwa dia harus membuat taman yang penuh dengan bunga-bunga di lokasi dekat kolam. Dalam mimpi itupun, dia harus mendirikan gubuk di suatu bukit yang disebut Nusa “pangepulan” (Perkumpulan).

Ki Bagus Djamri pun melaksanakan perintah yang muncul dari mimpinya itu. Dia membangun sebuah taman, lengkap dengan tempat untuk berkumpul di tempat yang dekat dengan kolam tersebut. Lama kelamaan, kolam tersebut membesar dan air terus melimpah sehingga membanjiri wilayah itu. Namun, bagi Ki Bagus Djamzri karena tinggal disuatu Nusa Pangepulan tadi, dia tidak hanyut dalam air. Air hanya mengelilingi nusa, seperti halnya nusa di Situ Panjalu Ciamis.

Akhirnya, kolam yang tadinya kecil ini membentuk menjadi sebuah situ yang kemudian dinamai Situ Cibeureum. Ki Bagus kemudian mengundang para penduduk lain untuk tinggal di daerah yang berdekatan dengan situ. Bahkan, Nusa Pangepulan yang dulu hanya didiami seorang diri oleh Ki Bagus Djamri mulai ramai didatangi tokoh lain.

Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya sejumlah makam keramat yang mengelilingi makam Ki Bagus Djamri. Keberadaan sejumlah makam itu membuktikan bahwa Nusa Pangepulan ini pernah dijadikan sebagai tempat tinggal.

Tambah atang, di Nusa Pangepulan itu, selain terdapat makam Ki Bagus Djamri, terdapat pula makam Syeh Majagung, Nyi Dambawati, Sugrianingrat, Nyi Ratnaningrum dan Nyi Ratnawulan, dan bangsawan di era Padjadjaran.

Read more ...

Kronologis Tragedi Kerusuhan Tasikmalaya Pada Tahun 1996

Sebagai warga Tasikmalaya, tentu kita tahu bahwa di Tasik pernah ada kerusuhan yang yang sangat besar yang terjadi pada pada tahun 1996. Pada tahun itu nama Tasikmalaya mendadak terkenal, kota yang memiliki 925 pesantren mendadak bergejolak. Berikut saya ceritakan kronologis nya.


Adalah seorang santri bernama Rizal, berusia 15 tahun. Si Rizal ini adalah santri tidak mondok alias santri kalong di Condong. Dia dihukum oleh Ustadz Habib karena kedapatan mengutil dan mencuri barang-barang milik santri lainnya sampai seharga Rp 130 ribu. Hukumannya berupa direndam selutut di empang pesantren. Ini adalah hukuman yang biasa dilakukan di pondok pesantren itu. Dan hukuman ini sudah seijin KH Makmun selaku pimpinan pesantren.

Rupanya, Rizal langsung melaporkan kejadian ini kepada ayahnya, Kopral Nursamsi. Anggota Sabhara Polres Tasikmalaya ini langsung mendatangi Condong pada hari itu juga. Setelah Nursamsi menerima penjelasan KH Makmun dan Ustadz Mahmud Farid, 38 tahun, pihak Pondok Condong merasa urusan ini sudah selesai.

Jumat, 20 Desember 1996

Entah mengapa datang surat pemanggilan untuk Habib Hamdani Ali, 26 tahun, dan Ihsan, 25 tahun, dari Polres Tasikmalaya. Surat itu ditandatangani oleh perwira jaga dan bukan oleh Kapolres Tasikmalaya Letkol Suherman.

Sabtu, 21 Desember 1996

Ustadz Mahmud bersama KH Makmun datang ke Polres Tasikmalaya memenuhi panggilan polisi. Namun, kedatangan kedua tokoh Condong ini tanpa kehadiran Habib. Maka, pihak Polres meminta Habib untuk memenuhi panggilan kedua pada hari Senin tanggal 23 Desember 1996.

Senin, 23 Desember 1996


Habib Hamdani Ali tiba pukul 8.30 pagi di Polres Tasikmalaya. Dia didampingi dua santri lainnya yaitu Ihsan dan Ate Musodiq. Ikut juga Ustadz Mahmud Farid. Mereka datang memenuhi panggilan polisi pada hari Sabtu. Mereka disambut empat petugas jaga.

Tiba-tiba, Kopral Nursamsi begitu melihat Habib langsung menjambak rambut santri itu dan langsung memberinya pukulan. Entah mengapa, keempat petugas jaga lainnya juga ikut menghajar dan menendang Habib. Melihat hal ini, Ustadz Mahmud berusaha melerai dengan menghalangi empat polisi -- Nursamsi, Serda Agus M, Serda Agus Y, Serda Dedi -- yang tengah membabibuta itu. Dia ingin melindungi Habib.

Namun Mahmud malah menjadi bulan-bulanan polisi yang sudah lepas kontrol itu. Belum puas menghajar, polisi-polisi tadi beralih menghajar Ihsan, yang tak dapat berbuat apa-apa kecuali pasrah.

Santri Ate, begitu melihat penyiksaan terhadap ustadz dan rekan-rekannya langsung kabur dari polres dan melapor kepada pimpinan pesantren, KH Makmun. Tanpa menunggu lama, ayah Ustadz Mahmud ini segera melaporkan penganiayaan atas anaknya kepada Wakil Bupati Tasikmalaya, Oesman Roesman. Dan Roeman segera memerintahkan Kepala Dinas Sosial Politik Kabupaten Tasikmalaya untuk meluncur ke Polres Tasikmalaya.

Menjelang dhuhur penyiksaan baru dihentikan, tepatnya ketika utusan Pemda Tasikmalaya tiba di Polres Tasikmalaya. Ustadz Mahmud yang sudah babak belur segera dilarikan ke Rumah Sakit Umum Daerah Tasikmalaya. "Saya ditendang dan dipukuli di ruang pemeriksaan dan tahanan, sembari disuruh push-up. Dan yang menyakitkan, ada seorang petugas memaki-maki saya dengan kata-kata kasar," tutur Ustadz Mahmud Farid kepada TEMPO Interaktif, Senin 30 Desember 1996, di Pondok Pesantren Condong.

Ustadz Mahmud hanya bertahan tiga jam di rumah sakit. Karena, rumah sakit seperti "dikepung" santri dan masyarakat Tasikmalaya yang terus berjubel dan ingin melihat kondisi Mahmud. Atas saran keluarga, Ustadz Mahmud pulang ke rumah diantar orang tua dan puluhan santri. Hari sudah sore, sekitar pukul 16.00.

Sorenya, sekitar pukul 17.00, Kapolres Letkol Suherman didampingi Muspida Tasikmalaya berkunjung sekaligus bersilahturahmi dengan pimpinan pondok. Dalam pertemuan itu dicapai kesepakatan pihak pesantren tak akan menggugat polisi yang menyiksa pengasuh Condong. Kapolres pun meminta maaf atas perbuatan anak buahnya dan segera akan menindak oknum polisi tersebut. Selain itu, pihak Polres akan menanggung seluruh biaya pengobatan.

Sejak Mahmud Farid pulang ke rumah, di masyarakat dan kalangan pesatren berkembang isu bahwa Mahmud dikabarkan meninggal dianiaya polisi. Bahkan, Kiai Makmun pun digosipkan telah meninggal dunia. Dan kata kabar angin itu, saat pengasuh dan santri Condong digebuki di Polres Tasikmalaya, terdengar ada kata-kata penghinaan dan pelecehan terhadap pemuka agama itu.

Bahkan, seorang pemilik warung di terminal Tasikmalaya pada TEMPO Interaktif mengaku mendengar bahwa Ajeungan Mahmud diserang dengan kata-kata "PKI". Tapi, Kepala Penerangan Kodam Siliwangi, Letkol Herman Ibrahim tak yakin benar bahwa ada tuduhan "PKI" terlontar di Polres Tasikmalaya. "Ada baiknya kita tunggu berita acara pemeriksaan," jelas Letkol Ibrahim.

Walhasil, isu pelecehan dan penghinaan serta kabar angin meninggalnya Ustadz Mahmud meluas hingga ke luar Tasikmalaya. Akibatnya, banyak "simpatisan" yang datang ke Tasikmalaya untuk mengkonfirmasikan berita ini. Memang kebetulan ada seorang "Mahmud" yang meninggal, yakni seorang tukang kayu yang tidak ada sangkut pautnya dengan peristiwa itu.

Kamis, 26 Desember 1996

Isu meninggalnya Ustadz Mahmud terus meluas. Maka pagi hari itu, sekitar pukul 10.00, ribuan orang berkumpul di Masjid Agung Tasikmalaya, Jalan H.Z. Mustofa, untuk melakukan doa bersama. Di tengah ribuan massa yang terus bertambah, Komandan Korem 062 Tarumanegara, Kolonel M. Yasin, menjelaskan bahwa oknum-oknum polisi yang menganiaya Ustadz Mahmud beserta dua santrinya sudah ditangani oleh Detasemen Polisi Militer.

Ketika ribuan orang berada di masjid, ribuan yang lain diam-diam mulai bergerak ke arah Markas Polres di Jalan Yudanegara, yang berjarak sekitar 500 meter dari masjid agung. Massa menuntut agar Kapolres meminta maaf secara terbuka. Bupati dan Kapolres yang tengah berada di Mapolres berusaha menenangkan massa yang kian tak sabar, sembari meneriakkan takbir. Aparat keamanan berbaju hijau yang telah siaga berusaha menghalau massa agar tidak merusak markas Polres Tasikmalaya itu.

Sementara itu, massa di masjid agung akhirnya terpecah-pecah. Sebagian mulai bergerak ke arah Jalan H.Z. Mustofa dan mulai melakukan perusakan dan pembakaran. Dua departmen store besar, Matahari dan Yogya, adalah bangunan pertama yang dihajar massa dengan batu dan kemudian dibakar.

Dari Jalan H.Z. Mustofa, massa mulai menyebar ke arah Barat. Yang lainnya menuju arah Timur dan massa inilah yang membakar Gereja Katolik Salib Suci. Sementara nasib gereja lainnya yang berada di Jalan Salakaso, Cipatujah, Veteran, dan Wiratuningrat, akhirnya mengalami nasib serupa. Gereja-gereja itu dibakar dan dirusak.

Aparat keamanan yang berasal dari Batalyon 330 Bandung, Batalyon 323 Majalengka, Batalyon 301 Sumedang, serta dari Kostrad dan Arhanud, segera menghalau massa ke luar kota Tasikmalaya. Walau sudah mengerahkan sekitar 800 personil, namun pembakaran dan pengrusakan masih terus berlanjut. Bahkan kerusuhan meluas hingga Ciawi yang berbatasan dengan Kabupaten Ciamis, yang berjarak sekitar 50 kilometer dari Masjid Agung Tasikmalaya. Massa yang sudah menyusut, ditaksir berjumlah lima ribu orang, masih merusak dan membakar tiga pabrik, sejumlah toko, serta membakar mobil yang diyakini milik warga non pribumi.

Kejadian serupa juga terjadi di Kawasan Sawalu yang berbatasan dengan Kabupaten Garut. Selain toko dan kendaraan, beberapa mapolsek dan pos polisi dirusak massa. Aksi perusakan dan pembakaran di luar kota Tasikmalaya berlangsung hingga Jumat dinihari, 27 Desember 1996.

Sementara di Kota Tasikmalaya, aparat keamamana baru dapat menguasai keadaan sekitar pukul 17.00 WIB pada hari Kamis naas itu. Di beberepa tempat saat itu masih terjadi pembakaran mobil, motor, dan apa saja milik warga nonpri.

Pukul 21.00, Panglima Kodam III Siliwangi, Mayjen TNI Tayo Tarmadi, datang ke Pondok Pesantren Condong untuk mengetahui kondisi kesehatan Ustadz Mahmud dan bertemu dengan KH Makmun. Satu jam kemudian Pangdam mengajak KH Makmun untuk memberikan penjelasan kepada masyarakat melalui radio di pendopo kabupaten. Dalam penjelasannya di radio, pimpinan pondok pesantren berusia 74 tahun itu, membantah isu bahwa putranya, Ustadz Mahmud, telah meninggal dunia. Ia menegaskan, bahwa kondisi putranya hingga malam itu dalam keadaan sehat wal-afiat.

Dalam peristiwa itu sempat ditahan 106 orang, namun sebagian dibebaskan karena dianggap hanya ikut-ikutan. Sedangkan yang ditahan di Polres Tasikmalaya tercacat 89 orang, tiga diantaranya wanita. Sementara korban yang meninggal adalah Kio Wie, 60 tahun, meninggal karena terjebak api, Eli Santoso, 34 tahun, tewas karena penyakit jantung. Keduanya adalah warga keturunan Cina. Dua orang lainnya tewas akibat amukan massa dan terjatuh dari truk saat kerusuhan terjadi. Kedua korban terakhir ini diduga ikut dalam rombongan massa.

Jumat sampai Minggu, 27 sampai 29 Desember 1996

Masyarakat Tasikmalaya masih diliputi ketakutan. Puluhan toko dan pabrik banyak yang menghentikan aktivitasnya. Sementara di berbagai sudut kota, tembok, dan toko-toko, serta kendaraan bermotor, banyak dijumpai kata-kata "muslim" atau "kepunyaan keluarga muslim". Agaknya, ini upaya untuk menghindari amukan massa. Aparat Pemda dibantu organisasi pemuda dan karang taruna, serta masyarakat pesantren, mulai membersihkan sisa-sisa kerusuhan.

Senin, 30 Desember 1996

Pangdam Siliwangi selaku Ketua Bakorstanasda Jawa Barat bersama Kapolda dan Gubernur Jawa Barat, mengadakan silaturahmi dengan tokoh dan alim ulama se-Tasikmalaya. Hadir dalam acara tersebut, Menteri Agama Tarmizi Taher, Ketua MUI KH Ali Yafie, anggota Komnas HAM Albert Hasibuan dan tokoh-tokoh non-Islam.

Kerusuhan yang diperkirakan menelan kerugian Rp 85 miliar tersebut disesalkan banyak pihak. Kapolda Jawa Barat, Mayjen Nana Permana, yang aparatnya dituduh memicu kerusuhan ini berjanji akan menindak tegas anak buahnya yang melakukan pelanggaran. "Semua berkasnya belum saya terima. Mengenai hukuman, mahkamah militer yang akan memutuskan," ujar Nana Permana yang asli Tasikmalaya ini.

Benarkah Peristiwa Tasikmalaya melulu soal kekesalan pada polisi? Tatang Setiawan, Ketua Bina Sektor Informal Tasikmalaya, melihat lain ada penyebab yang lain. Yaitu, kekecewaan masyarakat selama ini yang secara ekonomi terpinggir. "Masyarakat Tasikmalaya itu kreativitasnya di bidang kredit, bordir, anyaman, dan peternakan. Sebelum masuk pemodal kuat, mereka dapat hidup layak dari usaha mereka. Tapi sekarang dengan masuknya konglomerasi, masyarakat Tasikmalaya terpinggirkan," kata Tatang yang punya anggota 1200 orang ini yang bergerak di 60 kelompok sektor informal.

Senin, 30 Desember 1996

Kota Tasikmalaya, peraih Adipura 1995, berangsur-angsur pulih. Rakyat kembali sibuk dengan kegiatannya. Sejumlah angkutan kota mulai melayani masyarakat. Begitu pula kesibukan aparat pemerintahan. Polisi yang sebelumnya seperti "menghilang" dari jalanan, kembali menjalankan tugasnya mengatur lalu lintas. Namun, sebagian besar toko, swalayan, dan bank-bank di Kota Tasikmalaya masih tutup. Sementara sisa-sisa kerusuhan sudah tidak tampak di jalan. Hanya bangunan hangus yang jadi saksi kerusuhan yang paling parah sepanjang sejarah Tasikmalaya itu.

Boleh jadi, kerusuhan di Tasikmalaya bukan soal spontanitas atau solidaritas. Karena, ada saja yang menyaksikan beberapa truk berukuran besar penuh berisi manusia menurunkan "penumpang" di Tasikmalaya menjelang kerusuhan. Kabarnya, sekitar seratus pengendara motor -- di antaranya berambut gondrong, ada yang beranting dan berpeci -- juga datang dari luar kota untuk mengajak orang-orang Tasikmalaya membuat "perhitungan" karena ada muslim yang dianiaya. Inikah "kelompok" yang dituduh Gus Dur sengaja memojokkan NU? Masih harus ditunggu penyelidikan aparat keamanan.

Sementara, seperti juga kasus di Situbondo, agaknya kasus di lumbung pesantren Jawa Barat itu akan selesai di pengadilan. Aparat Polres Tasikmalaya dan juga perusuh akan menjalani hukuman.

Tapi, apakah akar permasalahan yang menyebabkan kerusuhan akan ditangani pemerintah dengan tuntas? Ini yang belum kunjung tampak dilakukan. Akar permasalahan itu, seperti kata Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Dr. Amien Rais, adalah tidak tahannya rakyat menghadapi kesewenang-wenangan dan kezaliman ekonomi yang telah berlangsung cukup lama. Dan kezaliman itu bermula dari tiga penyakit kronis yang seolah-olah tak pernah mampu dibasmi. Yakni korupsi yang melembaga dan menyeruak ke seluruh sel-sel tubuh bangsa, kesenjangan sosial yang makin gawat, dan perilaku buruk petinggi negeri yang dirasuki paham aji mumpung.

Read more ...

Selasa, 08 September 2015

Sejarah Meletusnya Galunggung Tahun 1982


Gunung Galunggung, Tasikmalaya-Garut, Jawa Barat, terakhir kali meletus pada 5 April 1982 hingga 8 Januari 1983. Saat itu menghasilkan cendawan tinggi berwarna hitam. Ketinggiannya diperkirakan mencapai ketinggian 10 kilometer.

Kepala Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Jabar, A Djumarma Wirakusumah, menuturkan letusan Gunung Galunggung menyebabkan pesawat terbang British Airways melakukan pendaratan darurat di Jakarta. Hal tersebut dilakukan karena salah satu mesin jetnya ada yang mati akibat kemasukan abu vulkanik.

“Gunung Galunggung (letusannya) juga mendunia, karena mengganggu pesawat kan,” kata Djumarma saat ditemui di sela Seminar Geologi, di Bandung, Jawa Barat, Selasa (14/2/2012).

Waktu Gunung Galunggung meletus pada 1982, kenang Djumarma, dirinya baru saja menjadi PNS sebagai staf Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

Saat itu banyak PNS yang langsung diterjunkan untuk mengatasi letusan Gunung Galunggung. Letusan Gunung Galunggung pada 1982 itu memang termasuk besar dan lama, yakni hingga 9 bulan.

Letusannya menghancurkan kubah lava yang terbentuk sejak terakhir kali meletus pada 1918. Akibat letusan, muncullah air yang membentuk danau. Adanya danau ini membuat efek bahaya letusan tersendiri.

Jika Gunung Galunggung meletus, air danau yang terjadi pada 1956 lalu memiliki air 7,8 juta ton meter kubik itu akan mendidih karena dipanaskan lahar yang berada di bawahnya. Diperkirakan, lahar yang berada di sekitar danau mencapai 8,9 juta ton meter kubik akan panas.

Berdasarkan pengalaman letusan di Gunung Kelud pada 1919 yang menewaskan 3.000 orang. Gunung Kelud memiliki danau yang airnya menjadi mendidih karena material mengakibatkan letusan.

Sehingga pascaletusan 1982, mulai dilakukan proses pengurangan air danau dengan dibuatnya terowongan air yang membuang air danau ke Sungai Cikunir.

Lanjut Djumarma, pihaknya sudah melakukan simulasi berdasarkan perkampungan di sana, volume dihitung, kecepatan gerak, kemiringn lereng, semua berkaitan dengan daya jangkau lahar jika terjadi letusan.

Kesimpulannya, jika volume air di danau Gunung Galunggung 7,1 juta ton meter kubik, maka jarak lahar panas akan menjangkau 5,5 kilometer. Jika volume air 2,9 juta ton meter kubik jangkauan mencapai 2,7 kilometer, dan jika volumenya kurang dari 1 juta ton meter kubik, ternyata jangkauan letusan hanya sampai 1,9 kilometer.

“Menurut data 1996, perkampungan terdekat dengan Gunung Galunggung jaraknya 2,1 kilometer. Tetapi sekarang volume air pasti berbeda dengan dulu. Endapan materialnya bisa lebih besar,” ungkapnya.

Namun, belum diketahui tahapan status yang terjadi saat letusan 1982. Pasalnya, waktu itu penghitungan dilakukan secara manual. Berbeda dengan saat ini yang memiliki alat-alat canggih untuk mengukur aktivitas gunung berapi.

Kronologi letusan dilakukan berdasarkan pantauan warga khususnya aparat desa yang menyampaikan laporan ke Badan Geologi. Saat itu laporan terjadinya gejala letusan Gunung Galunggung mulai terjadi sejak Oktober 1981 hingga Januari 1982.

Dalam empat bulan sebelum ledakan saat itu, sudah terjadi gempa. Pada April 1982 suasana di Cipanas (puncak) sudah terjadi beberapa kali getaran. Jalanan menuju puncak juga tampak bekas tembakan-tembakan vulkanik yang berceceran. Sedangkan suasana di sekitar gunung juga terasa panas.

“Dua hari sebelum meletus, ada petugas kami yang mengontrol gunung. Ternyata di sana sudah muncul asap. Maka esoknya (5 April), meletus,” tuturnya.

Proses terjadinya Gunung Galunggung sebenarnya terjadi sejak 4.000 tahun lalu. Pembentukan gunung api tersebut berawal dari letusan besar dari Gunung Guntur (kini namanya Galunggung).

Djumarma menuturkan, pihaknya telah melakukan pemetaan geologi gunung api Galunggung dengan sumber dari material Gunung Galunggung seperti bebatuan akibat letusan 1981-1982. Dari material tersebut, pihaknya berhasil menemukan urutan pembentukan Gunung Galunggung.

“Dulunya Gunung Galunggung adalah Gunung Gede yang puncaknya Kawah Guntur. Ini beda dengan Gunung Gede di Garut ya,” tuturnya.

Kawah Guntur merupakan tempat magma. Di kawah tersebutlah berlangsung pembentukan lapa atau lahar Galunggung, termasuk pembentukan awan panas jika nantinya meletus.

Pada 4000 tahun lalu, terjadi pelencengan magma ke Kawah Guntur hingga melenceng ke bagian timur tenggara. Selain itu, terjadi retakan di bagian atas tubuh Gunung Galunggung. Akibatnya terjadi longsor yang sangat besar hingga mengalir ke timur tenggara. Longsoran vulkanik tersebut membuat Kawah Guntur menjadi menjorok keluar. Hal itu membuat letusan hingga membentuk awan panas.

“Longsor yang membentuk magma ke arah timur tenggara itu membentuk Perbukitan Sapuluhrebu yang berada di Tasikmalaya. Orang Tamsikmalaya sendiri tidak kenal Perbukitan Sapuluhrebu, mereka hanya menyebutnya pasir-pasir (bukit),” terangnya.

Setelah terbentuknya Perbukitan Sapuluhrebu, material kering yang turun melalui lereng tebing dan terjal ke daerah kaki gunung menyebar ke kiri dan kanannnya hingga membentuk bukit-bukit kecil yang tingginya antara 30-40 meter.

Bukit-bukit tersebut jumlahnya sangat banyak, jaraknya aekira 27 kilometer dari puncak dan berjajar hingga Cipatujah, Tasikmalaya. “Itulah hubungan gunung api Galunggung dengan Perbukitan  Sapuluhrebu yang terjadi sejak 4.000 tahun lalu,” terangnya. 

Read more ...

Misteri Dibalik Situ Gede Dan Eyang Prabudilaya

Bagi warga Tasikmalaya, mungkin semuanya pasti dan ada yang pernah berkunjung ke objek wisata Situgede. Namun dibalik itu ternyata Situgede menyimpan misteri dan memiliki sejarahnya, Berikut saya akan share cerita Situgede dan Eyang Parbudilaya.

 I
Purnama bersinar, menerangi alam Sumedang yang tengah lelap tertidur, negeri yang makmur, gemah ripah loh jinawi, kini seolah beristirahat menikmati hasil kerjanya selama sehari penuh, diantara kesunyian malam dan sinar purnama, masih terdengar kentungan dipukul orang, menandakan tidak semua warga terlelap, namun masih ada yang terjaga menjaga lingkungannya.
Namun di halaman belakang komplek istana kerajaan Sumedang, masih terdengar sesuatu yang agak asing ditelinga, lengkingan suara yang agak tertahan namun mantap mengandung tenaga, disertai desingan sesuatu yang membelah udaha, terdengar jelas dimalam yang telah larut itu, cahaya remang obor bambu, melengkapi sinar purnama yang menyinari seorang pemuda tegap tengah memperagakan ilmu kanuragan dengan gesit, cepat mantap dan bertenaga, itulah Prabu Adilaya, Raja Muda Sumedang yang tengah menempuh ujuan terakhir dari ilmu kanuragan yang dipelajarinya, sebagai seorang raja, tentu saja harus memiliki berbagai ilmu untuk menjaga diri dan menjaga masyarakatnya, disamping ilmu kenegaraan, harus pula dipelajari ilmu lain termasuk ilmu kanuragan dan bela diri.
Di bawah pohon yang agak rindang, duduk seorang pria tua berjanggut panjang, mengenakan pakaian serba hitam kepalanya yang berambut putih diikat dengan ikat kepala hitam, kakek ini dengan cermat memperhatikan Sang Prabu yang tengah berlatih, kadang-kadang kepalanya mangut-mangut, atau senyum kepuasan tersungging di bibirnya yang keriput. 
“Cukup Raden!” tiba-tiba si Kakek berseru
Prabu Adilaya berhenti, kemudian berbalik menghadap gurunya dengan gerakan menyembah,
“Terimakasih, Eyang Guru”
“Sekarang duduklah, Raden”
Prabu Adilaya, duduk bersila, kedua tanganya berada di atas pangkuannya
“Tenang, Raden”
Kakek yang dipanggil Eyang guru, melugas pedang yang berkilau mengkilap diterpa cahaya bulan, tiba-tiba pedang itu menebas punggung Sang Prabu, terdengar suara sesuatu yang patah dan terlempar, Eyang Guru berdiri tegak, memperhatikan pedang yang ternyata sudah patah terpotong dua, ada senyum puas tersungging dari bibir keriput Eyang Guru, kemudian, dengan langkah ringan menghampiri muridnya yang duduk bersila, tangannya terjulur kedepan, seraya berkata dengan mengulum senyum “ Lulus Raden”
Ketika ayam berkokok dan matahari menyeruak embun pagi, Guru dan murid tengah bercengkrama, di serambi samping istana, disuguhi makanan dan minuman hangat, “Raden, semua ilmu yang kumiliki, sudah kuajarkan semua kepadamu, dan Raden sudah menyerapnya dengan baik, namun bagi seorang Raja, kiranya ilmu yang kuajarkan belum cukup, harus disertai dengan ilmu bathin terutama ilmu agama” kata Eyang Guru sambil menatap muridnya” “Saya pun merasakannya, Eyang, ilmu kanuragan yang Eyang ajarkan masih perlu ditambah dengan ilmu agama, sehingga, dalam menjalankan roda pemerintahan, saya memiliki dasar yang kuat dan dapat bertindak bijaksana”
Prabu Adilaya, menjawab dengan penuh harap,

“Kemana lagi saya harus berguru, Eyang?
Sang Prabu yang muda dan haus ilmu tampak sangat berkeinginan untuk belajar lebih banyak.
“Pergilah ke Mataram, bergurulah kepada KYAI SYEH JIWA RAGA, disana Raden akan mendapatkan ilmu-ilmu bathin dan ilmu agama”
“Terimakasih Eyang guru”
Sang prabu mencium tangan gurunya, orang tua yang sudah berambut putih ini merapatkan kedua tangannya di dada, seraya menghaturkan sembah, dia berkata
“Saya mohon pamit, Raden”
“Silahkan, terimakasih, Eyang”
“Sampurasun”
“Rampes”.
**
Siang itu Prabu Adilaya menjalankan tugasnya sehar-hari sebagai seorang Raja, disaat tertentu selalu terngiang perkataan gurunya, bahwa ilmu yang kini dimilikinya belumlah cukup untuk seorang Raja, namun harus ditambah dengan ilmu bathin terutama ilmu agama, harus ke Mataram untuk mencarinya, seketika sang prabu merasakan kekosongan, ternyata benar kata pepatah, batang padi semakin berisi semakin merunduk, semakin banyak ilmu seseorang, semakin merasakan kekurangan, semakin haus akan ilmu, namun keinginan untuk menuntut ilmu berarti harus meninggalkan Sumedang dan berbulan-bulan di Mataram, sementara tampuk pemerintahan saat ini sang Prabu-lah yang bertanggung jawab. Tetapi kebingunan itu tidak lama, Prabu Adilaya teringat, bahwa selalu ada orang yang mampu memberi jalan keluar dari semua persoalan yaitu ibunya. Sang prabu pun turun dari singgasananya dan berjalan keluar keprabon, melewati taman sari, tibalah ke kaputren tempat ibunya tinggal.
“Saya haturkan sembah, Kang Jeng Ibu”
“Silahkan Raden, Pangeranku, wajahmu tampak murung, utarakanlah pada Ibu, Raden”
Prabu Adilaya manarik nafas dalam-dalam, begitu bijaksana Ibunya sehingga dapat melihat kemurungan diwajah anaknya.
Dengan lemah lembut Prabu Adilaya menyampaikan maksudnya untuk berguru ke Mataram sebagai bekal untuk dapat memerintah secara adil dan bijaksana, disampaikannya pula bahwa menuntut ilmu agama dan ilmu lainya akan memakan waktu berbulan-bulan, mungkin bertahun-tahun sementara kerabuan di Sumedang harus ditinggalkan, tanpa diduga, Sang Ibu terseyum mendengar keluhan putranya,
“Bagi seorang raja, sangatlah perlu memiliki ilmu agama dan ilmu lainnya, ibu bersyukur kepada Yang Maha Kuasa dan bangga ternyata Kangjeng Rama tidak salah pilih menobatkan, sebagai Raja, sudah ada sifat kearifan seorang raja dalam dirimu, keinginanmu untuk menuntut ilmu, merupakan keinginan yang luhur, pergilah anaku, tugasmu sehari-hari akan dilaksanakan oleh adikmu” Wajah Prabu Adilaya kembali berseri-seri seolah medapat kejatuhan bintang dari langit, sejenak ibunya melanjutkan : 
“Bawalah serta istrimu dan pelayanmu yang setia”
Prabu Adilaya pun mohon pamit untuk melakukan persiapan keberangkatannya.
II
Seolah berlomba dengan ayam berkokok, Prabu Adilaya didampingi istrinya Nyai Raden Dewi Kondang Hapa dan sepasang pelayannya Sagolong dan Silihwati berangkat dari tanah Sumedang kearah timur menyongsong matahari pagi, melalui padang terjal berbukit, mengarungi kelebatan hutan, menuruni lembah dan mendaki bukit, banyak malam harus dilewatkan dengan tidur beralas daun kering berkelambu birunya langit, akhirnya sampai jugalah ke Mataram ke tempat dimana Kyai Jiwa Raga bermukim. 
Kyai dengan wajah cerah menyambutnya, memberikan tempat yang terbaik bagi sang Prabu dan kedua pelayannya, ketika menyampaikan maksudnya untuk berguru, Kyai dengan senang hati menerimanya sebagai muridnya.
Keinginan sang Prabu yang sangat kuat untuk mempelajari Ilmu Agama menyebabkan dia cepat menyerap ilmu yang diajarkan, banyak kitab kuning yang dapat dihapal dalam waktu singkat, banyak pula kitab-kitab lainnya yang masih harus dibacanya dengan tekun dan ulet, kesungguhannya dalam belajar dan kemampuannya yang luar biasa tidak luput dari perhatian Kyai yang mengajarnya yang selalu terkagum-kagum dengan semangat belajar yang sangat tinggi.
Tak terasa sudah empat purnama berlalu Prabu Adilaya tak sempat banyak berpikir dan berbuat lain, waktu sesaat pun dimanfaatkan untuk menyerap pelajaran yang diberikan oleh Kyai Jiwa Raga, gurunya. banyak hal keduniawian terlupakan termasuk istrinya yang selalu mendampinginya sejak dari Sumedang.
Suatu saat, Kyai Jiwa Raga berbicara kepada muridnya:
“Raden, apa yang saya miliki, sudah saya ajarkan kepadamu, namun mempelajari islam tidak cukup dari satu sumber, Raden harus berguru kepada yang lain”
Prabu Adilaya menganguk-ngangguk seraya berkata :
“Setiap saat saya menemukan persoalan yang harus dipecahkan dengan bantuan ajaran Islam, ijinkan saya untuk menambah ilmu yang Kyai berikan, dan mohon petunjuk harus kepada siapa saya berguru ?.
“Pergilah ke tatar Sukapura, banyak Kyai yang berilmu luhung disana, tetapi sebelum pergi, sudikah Raden membawa putri saya Dewi Cahya Karembong dalam perjalanan Raden” Kyai Jiwa Raga menatap muridnya dengan penuh harap.
“Dengan senang hati Kyai”
“Seandainya Raden berkenan, jadikanlah putri saya sebagai istri raden yang kedua”
Prabu Adilaya agak kaget mendengar perkataan gurunya, sebagai murid dia harus patuh kepada Guru, namun dia sudah beristri dan sampai saat ini terlupakan karena terlalu tekun dalam mempelajari Agama Islam, tetapi ketaatan kepada gurunya, menyebabkan Prabu Adilaya tidak kuasa menolak tawaran itu,
“Baiklah, Kyai, saya akan menjadikan Dewi Cahya Karembong sebagai istri kedua”
“Terimakasih Raden”
Tidak berselang lama, dilakukanlah upacara akad nikah antara Prabu Adilaya dengan Dewi Cahya Karembong, putri Kyai Jiwa raga yang cantik jelita, upacara sederhana yang dihadiri oleh seluruh murid Kyai Jiwa Raga, sekaligus menandai bahwa Prabu Adilaya merupakan murid Kyai Jiwa Raga yang paling pandai, yang dinikahkan dengan putri Kyai, tradisi ini bertahan sampai sekarang, santri yang paling pandai dari sebuah pesantren akan dinikahkan dengan putri ajengan (Kyai). 
Keinginan untuk belajar Ilmu Agama Islam Prabu Adilaya tetap membara, sang prabu berpamitan kepada Kyai, untuk melakukan perjalanan ke Tatar Sukapura mencari Guru yang dapat mengajarkan Agama islam lebih dalam dan lebih banyak, Kyai pun memanjatkan do’a untuk keberangkatan menantu dan putrinya yang disertai Raden Dewi Kondang Hapa istri pertama Prabu Adilaya
III
Perjalanan dari Mataram menuju Tatar Sukapura bukanlah perjalanan dekat, hampir sama dengan perjalanan dari tatar Sumedang ke Mataram, kali ini perjalanan lebih menggembirakan karena anggota rombongan bertambah menjadi enam orang dengan hadirnya Dewi Cahya Karembong, sepanjang perjalanan Prabu Adilaya dengan kedua istrinya selalu kelihatan ceria, untuk membuang kejenuhan sepanjang perjalanan Prabu Adilaya selalu bercerita yang disarikannya dari ceritera sempalan Tarich Islam, tentang kebijakan Rosululloh dalam menyebarkan Agama islam, kesederhanaan Rosul, keberaniannya dalam menegakkan agama Islam terutama kebesaran jiwa Rosul dalam menghadapi musuhnya yang belum beragama Islam, apabila malam menjelang mereka beristirahat melepas lelah, tetapi Prabu Adilaya selalu membaca ulang kitab-kitabnya yang diberikan oleh Kyai Jiwa Raga, sampai kedua istrinya tertidur pulas, sang Prabu masih membaca kitabnya dengan teliti, barulah ketika ayam berkokok satu kali, setelah sembahyang tahajud, sang Prabu merebahkan tubuhnya diantara kedua istrinya, ketiganya tertidur berkelambu langit cerah berbintang.
Banyak malam telah dilewati, perjalanan pun semakin jauh, Prabu Adilaya tetap dengan kebiasaannya menekuni kitab-kitab ajaran islam sampai larut malam, kebiasaan suami istri terlupakan begitu saja karena bagi Prabu Adilaya membaca kitab jauh lebih mengasikan, sampai suatu saat, ketika memasuki tatar Galuh, Dewi Cahya Karembong merasakan sesuatu yang hilang dari perannya sebagai seorang istri, ada perasaan mungkin dirinya kurang menarik perhatian suaminya, dibanding Dewi Kondang Hapa istri pertama Prabu Adilaya, perasaan itu mengundang tanda tanya besar dalam diri Dewi Cahya Karembong, sampai suatu saat takala Prabu Adilaya sedang berwudhu dan tidak ada di tengah-tengah kedua istrinya, Dewi Cahya Karembong bertanya kepada Dewi kondang Hapa: 
“ Maaf Aceuk*, sejak saya dinikahkan sampai saat ini saya belum pernah melakukan kewajiban saya sebagai seorang istri, kadang-kadang saya merasa disia-siakan dan diabaikan, apakah Aceuk merasakan hal yang sama atau kalau sama Aceuk biasa-biasa saja?”
Dewi Kondang Hapa merenung sejenak, pelan sekali dia menjawab:
“Aceuk pun merasakan hal yang sama, bahkan kalau itu suatu penderitaan, penderitaan Aceuk lebih lama dari yang Nyai rasakan, karena Aceuk menikah sudah hampir setahun ini, tapi belum diperlakukan sebagai istri”
“Sungguhkan ?” Dewi Cahya Karembong terperanjat mendengarnya
“Benar Nyai, sejak menikah Aceuk belum merasakannya” kata Dewi Kondang Hapa datar, seolah kepada dirinya sendiri
“Apakah mungkin kakang Prabu memiliki kelainan……………?”
“Tidak, Nyai, Kakang Prabu seorang laki-laki sejati” Dewi Kondang Hapa menjawab dengan tegas.
Obrolan kedua istri itu terhenti saat Prabu Adilaya menghampirinya, tetapi dalam bahasan yang sama mereka mengobrol pada saat-saat senggang, tetapi semakin lama, semakin mereka rasakan ada ketimpangan dalam kehidupan perkawinan mereka, mereka merasakan kehampaan dan kesepian, padahal suami yang mereka cintai tidur berdampingan tiap malam, mereka juga merasakan jarak yang makin lebar, padahal setiap saat hampir tidak pernah jauh terpisah. Ketika melihat burung berkasihan dalam perjalanan yang mereka lewati merekapun merasakan lebih hina dari seekor burung. 
Suatu saat, ketika ada waktu senggang yang cukup panjang, Dewi Kondang Hapa bertanya :
“Aceuk, Kakang Prabu hendak mencari guru baru?”
“Betul, kalau Kakang Prabu bermaksud untuk berguru lagi, berarti kita semakin tersia-siakan”
“Seandainya Kakang Prabu punya Guru baru dan menjadi murid paling pandai, tentu akan dinikahkan dengan putri gurunya lagi” berkata Dewi Cahya Karembong sambil memandang kebiruan langit, seolah hanya untuk didengar oleh dirinya sendiri.
“Mungkin penderitaan kita akan semakin panjang, disamping menunggu kakang Prabu selesai berguru, juga akan ada istri baru”
Dialog kedua istri yang dilanda sepi berlangsung semakin hangat dan panas, secara bertahap munculnya niat yang kurang baik, entah siapa yang memulai, dari niat itu dikembangkan menjadi sebuah rencana, tanpa disadari Dewi Kondang Hapa menbuka buntelan berisi sebuah keris pusaka yang diwariskan dari orang tuanya, demikian pula Dewi Cahya Karembong melakukan hal yang sama. 
Malam harinya pada saat Prabu Adilaya mulai merebahkan diri ditengah kedua istrinya dirasakan sangat berat matanya, sebagaimana biasa sebelum tidur, dipanjatkan doa kepada Allah SWT untuk memohon ampunan dan karuania Nya, Sang Prabu memejamkan mata sambil menyungging senyum, beberapa saat kemudian, kedua istrinya terbangun, diambilnya pusaka masing-masing, dihunusnya pusaka itu dan diangkat dengan kedua tangan diatas dada Prabu Adilaya yang tengah tertidur pulas, pada saat yang hampir bersamaan, dengan keras dihujamkan pusaka itu ke dada Prabu Adilaya, tidak ada jeritan atau lenguh kesakitan, hanya terdengar sebutan asma Allah, bersamaan dengan itu, Prabu Adilaya menghembuskan nafasnya yang penghabisan, darah merahpun memancar dari dada Prabu Adilaya membasahi pakaian dan sedikit demi sedikit membasahi tanah dimana tubuh sang Prabu terbujur, tanah sekitar tubuh itu berubah warna menjadi merah, demikian pula air tanah yang keluar sekitar tubuh sang Prabu warnanya kemerahan, sejak saat itu tempat dimana sang prabu dibunuh dinamakan CIBEUREUM (beureum = merah)
Burung-burung malam seolah berhenti berkicau, langit cerah mendadak mendung, pucuk-pucuk pohon seolah turut bersedih dengan dihilangkannya nyawa seorang pangeran yang sedang menuntut ilmu dibidang keagamaan, tinggalah dua istri yang kebingungan disertai rasa penyesalan yang mendalam,mereka duduk termenung, sementara kedua pelayannya yang setia Sagolong dan Silihwati masih pulas tertidur, dengan bisik-bisik kedua istri itu berembuk untuk mengubur jenazah di tempat yang jauh dan tersembunyi agar tidak ditemukan utusan dari Sumedang.
Akhirnya diputuskan untuk menggotong jenazah yang dimasukan kedalam kain sarung dan digotong dengan sepotong kayu, mereka berangkat kearah barat, sementara kedua pelayannya mengawasi dari kejauhan dengan terheran-heran tanpa bisa bertanya, ketika sampai di tanah datar yang luas., mereka bermaksud untuk mengubur jenazah disana, namun setelah dipikirkan lagi, ternyata ditempat itu akan mudah ditemukan, maka perjalanan pun dilanjutkan menelusuri anak sungai kearah hulu , disuatu tempat kayu yang digunakan untuk menggotong mayat Prabu Adilaya patah, Dewi Cahya Karembong mengambil sebatang kayu pendek dan berusaha menyambung kayu penggotong, tempat bekas menyambung kayu tersebut sampai saat ini dinamakan SAMBONG, perjalanan pun dilanjutkan beberapa kali kayu penggotong patah dan disambung sampai pada suatu saat kedua istri itu merasa bingung karena kayu penggotong ternyata selalu patah sekalipun sudah diganti akhirnya Dewi Kondang hapa mencoba mengganti penggotong yang baru dan melumuri kayu tersebut dengan tanah ternyata kayu tersebut tidak lagi patah, tempat bekas melumuri penggotong dengan tanah tersebut dinamakan MANGKUBUMI (mengangkat tanah)
Karena belum menemukan tempat yang tepat untuk mengubur jenazah, kedua istri Prabu Adilaya berbelok ke utara, mendaki bukit-bukit kecil akhirnya sampai ke daerah rawa-rawa, dari kejauhan terlihat ada tanah yang tidak digenangi air, mereka menuju kesana, ditempat itu Dewi Cahya Karembong memerintahjkan kedua pelayannya untuk menggali lubang, pada saat kedua pelayan itu menggali, Dewi Kondang Hapa berbisik kepada Dewi Cahya Karembong, bahwa seandainya kedua pelayan itu dibiarkan hidup tentu akan melaporkan kepada Raja Sumedang bahwa Prabu Adilaya dibunuh kedua istrinya, kedua istri sepakat bahwa kedua pelayan itu juga harus dihabisi untuk menjaga rahasiah mereka, maka sebelum lubang kubur selesai digali, kedua pelayan itu, Sagolong dan Silihwati dibunuh, dan mayatnya dikuburkan bersama-sama dengan jenazah Prabu Adilaya.
Sebelum matahari tepat diatas kepala penguburan ketiga jenazah itu telah selesai, mereka meninggalkan makam tanpa nisan itu, ada rasa penyesalan tak terkira pada diri mereka, Dewi Kondang Hapa berkata :
“Seandainya Aceuk kembali ke Sumedang tentu Aceuk akan dihukum, atau setidaknya banyak orang bertanya kemana Prabu Adilaya, kiranya akan lebih baik kalau Aceuk tinggal di daerah ini biar dapat menjaga makam Kakang Prabu”
“Baiklah, Nyai akan pulang ke Mataram, namun apabila ada sebuah padepokan atau pasantren, Nyai akan singgah dan berguru, semoga Allah SWT menerima tobat kita” menjawab Dewi Cahya Karembong dengan linangan air mata.
Kedua bekas istri Prabu Adilaya berpelukan, mereka memilih jalan masing-masing, Dewi Cahya Karembong memilih suatu tempat di Gunung Goong dan meninggal di sana.

IV
Semenjak di tinggalkan oleh Prabu Adilaya Dayeuh Sumedang seolah merasakan sesuatu yang hilang, raja yang bijaksana itu sementara pergi meninggalkan Sumedang untuk berguru, namun banyak purnama telah berlalu dan tahun pun berganti, tidak ada kabar berita, Ibu Suri kerajaan Sumnedang tentu saja merasa cemas dan gelisah, akhirnya diputuskan untuk mengutus putra keduanya untuk menyusulnya ke Mataram.
Singkat cerita, sampailah di mataram, tetapi ternyata yang disusul sudah pergi kea rah Tatar Sukapura, Adik Prabu Adilaya menyusul kearah sana, tetapi karena tidak adanya keterangan mengenai kakaknya, tempat disemayamkan Prabu Adilaya terlewat, karena tempatnya memang agak tersebunyi, sang adik malah sampai kesuatu daerah di pinggir sungai yang ramai oleh orang berlalu lalang, ternyata disana ada sebuah saembara, siapa yang dapat mengalahkan seekor singa dengan tangan kosong akan dinikahkan kepada putri penguasa daerah yang cantik, banyak pemuda ikut serta tetapi tidak mampu mengalahkan singa tersebut, Pangeran Sumedang itu merasa tertarik, akhirnya dia turun ke gelanggang dan bisa mengalahkan singa tersebut sampai luka parah, sampai saat ini tempat itu dinamakan SINGAPARNA (singa yang luka parah)
Pangeran Sumedang itu mendapatkan putri cantik dan diserahi sebuah daerah untuk dibuka, di daerah itu dibangun sebuah kota yang mirip dengan ibu kota kerajaan dan menamakan daerah itu dengan nama MANGUNREJA. Berbagai kesibukan pangeran Sumedang itu menyebabkan niatnya untuk pulang terlupakan, sehingga Ibunya di Sumedang tetap mengharap kabar baik yang disusul ataupun yang menyusul juga belum kembali, akhirnya diputuskan untuk berangkat sendiri menelusuri jejak Prabu Adilaya.
Sesampainya di Mataram ternyata mengecewakan, Prabu Adilaya bersama istri dan kedua pengawalnya sudah berangkat ke tatar Pasundan, tanpa berpikir panjang Sang Ibu berangkat ke Tatar Pasundan, sepanjang perjalanan apabila melewati malam beliau selalu memohon kepada Allah SWT Tuhan Yang Maha Kuasa untuk memperoleh petunjuk dimana kedua anaknya berada, bila siang perjalananpun dilanjutkan, meleati tanah berpasir dan berbukit, akhirnya sampai ke daerah yang berawa-rawa, dari pinggir rawa, sang Ibu melihat sebuah cahaya, akhirnya perjalanan dilanjutkan dengan menyebrangi rawa dan sampai ke sebuah nusa.
Ternyata cahaya tadi bersumber dari gundukan tanah merah, seolah petunjuk bahwa ada sasuatu di sana, Sang Ibu menengadahkan tangan memohon petunjuk Yang Maha Kuasa, dan diperoleh petunjuk bahwa disanalah dikuburkan prabu Adilaya dan kedua pelayannya Sagolong dan Silihwati.
Tangispun tak tertahankan, airmata berurai deras menetes ke tengah gundukan tanah merah, putra sulungnya, pewaris tahta kerajaan Sumedang terkubur di sana. Doa pun dipanjatkan untuk melindungi makam putranya, maka air rawa itu bertambah naik beberapa meter dan makam Prabu Adilaya berada di pulau sebuah danau yang luas, ada bisikan kepada sang Ibu untuk menancapkan tongkat yang selama ini dibawanya, setelah tongkatnya ditancapkan ke tanah, seketika berubah menjadi pohon-pohonan rimbun yang meneduhi makam putranya.
Pada saat akan pulang dan menyebrangi rawa yang sudah berubah menjadi danau, ada empat ekor ikan, sang Ibu menamakan ikan itu dengan nama si Gendam, si Kohkol, si genjreng dan si Layung, dengan tugas untuk menjaga makam dari tangan-tangan jahil yang mengganggunya.
Ketika bermaksud untuk pulang. Sang Ibu bertemu dengan dua orang penduduk setempat, beliau berpesan :
“mugi aranjeun kersa titip anak kuring di pendem di eta nusa, jenengannana sembah dalem Prabu Adilaya, wangku ka prabonan di sumedang mugi kersa maliara anjeuna dinamian juru kunci ( kuncen ) jeung kami mere beja saha anu hoyong padu beres, nyekar ka anak kami oge anu palay naek pangkat atawa hayang boga gawe kadinya, agungna Allah cukang lantaranana sugan ti dinya.”
Semoga kalian bersedia untuk dititipi anak saya yang dimakamkan di pulau itu, namanya Sembah Dalem Prabu Adilaya, yang memegang tampu ke prabuan di Sumedang semoga kalian bersedia untuk memeliharanya, dan saya memberitahukan kepada siapapun yang berselisih ingin beres, atau naik pangkat juga ingin punya pekerjaan silahkan nyekar ke sana, agungnya kepada Allah SWT semoga sareatnya dari sana” Setelah itu beliau pulang ke Sumedang. 
Read more ...

Senin, 07 September 2015

Sejarah Berdirinya Lanud Wiriadinata di Cibuereum

Sampurasun warga Tasikmalaya. Apa kalian sudah pernah berkunjung ke lanud Wiriadinata yang letaknya di Kecamatan Cibeureum? Jika kalian belum tau, saya akan menceritakan sedikit tentang Sejarah Berdirinya Lanud Wiriadinaata di Tasikmalaya.
 
Pembentukan Lanud Wiriadinata pada awalnya bernama Lapangan Udara / Lanud Cibeureum Tasikmalaya, merupakan peninggalan penjajahan Belanda dan dipergunakan sebagai tempat landing serta take off pesawat-pesawat militer Belanda, bgitu juga pada masa pendudukan Jepang. Setelah Jepang rnenyerah pada sekutu dan Indonesia memproklamirkan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, rakyat Indonesia menghimpun kekuatan untuk merebut kekuasaan dan Jepang, diantaranya Lapangan Udara. Pada bulan September 1945 anggota- anggota teknik pesawat di Pangkalan Udara Andir Bandung mendapat berita, bahwa Lanud Cibeureum Tasikmalaya telah berhasil dikuasai oleh para pemuda dan rakyat Tasikmalaya. 

  
Ini menjadi suatu kegembiraan dan kebanggan tersendiri bagi para insan dirgantara serta menimbulkan motivasi untuk segera memanfaatkan fasilitas yang ada. Berbekal kecintaan terhadap bendera negara yaitu merah-putih, tanggal 27 Oktober 1945 Basir Surya dan Tjarmadi, dengan peralatan seadanya memperbaiki pesawat Curen peninggalan Jepang dan diberi identitas dengan tanda Merah Putih dengan memberi warna putih pada  bulatan merah bendera Jepang dan berhasil diterbangkan oleh Adisutjipto mengelilingi lapangan terbang Maguwo Yogyakarta. Kemudian, dengan dibantu delapan orang teknisi dan Pangkalan Udara Andir kembali memperbaiki pesawat Nishikoren dengan tanda segi empat merah putih dan diterbangkan oleh Adisutjipto tanggal 7 Nopember 1945 dengan mengelilingi Tasikmalaya selama 30 menit. Pembukaan Pangkalan Udara Cibeureum.
  
Tasikmalaya dilaksanakan pada tanggal 13 April 1946 dengan diadakan pameran dan pekan penerbangan untuk memasyarakatkan minat dirgantara serta penerbangan formasi
dengan route Yogyakarta- Tasikmalaya-Wirasaba-Sala- Madiun-Malang pada tanggal 15 April 1946, dengan penerbangnya ; Husein Sastranegara, Tugiyo, Santoso dan Wim Prajitno.
  
Penerbangan formasi selanjutnya tanggal 10 Juni 1946 dengan 5 pesawat Cureng dan Pangkalan Udara Maguwo menuju Pangkalan Udara Cibeureum, dengan penerbangnya: 
1. Komodor Muda Udara A. Adisoetjipto dan Opsir Udara II Husein Sastranegara
2. Komodor Muda Udara Prof. Dr Abdurahman Saleh dan OMU III Toeloes Martoatmodjo
3. Opsir Udara II H. Sujono dan OMU III Kaswan
4. Opsir Udara II Iman Suwongso Wirjosaputro dan Opsir Udara III Sunarjo 
5. Opsir Udara II Iswahjudi dan Opsir Udara III Makmur Suhodo. 
Opsir Muda Udara (OMU) I Basir Surya diangkat menjadi Komandan Pangkalan Udara Cibeureum yang pertama dengan Surat Keputusan No. 33/Peng tanggal 30 Nopember 1946
yang merangkap sebagai Kepala Tekhnik Udara. Sedangkan serah terima lapangan udara Cibeureum dilaksanakan setelah diadakan perundingan antara Pemerintah Indonesia dengan Belanda KNIL pada tahun 1950. Kepala Staf TNI Angkatan Udara Marsekal Hanafie Asnan meremikan penggantian nama Lanud Tasikmalaya menjadi Lanud Wiriadinata pada hari Kamis tanggal 20 Septembe 2001 dengan Surat Keputusan Nomor Skep/100/IX/2001 tanggal 12 September 2001 tentang Penggantian nama Lanud Tasikmalaya menjadi Wiriadinata.

KOMANDAN LANUD WIRIADINATA DARI MASA KE MASA 

Lanud Cibeureum Tasikmalaya
  • 1945-1951 Letnan Udara Basir Surya 
  • 1951-1953 Letnan Muda Udara I SC. Holil 
  • 1953-1956 Letnan Udara I IN. Berati 
  • 1956-1958 Kapten Udara Nandika 
  • 1958-1959 Letnan Muda Udara I Somantri
  • 1959-1961 Kapten Udara S. Moh Ishak 
Pangkalan Udara Tasikmalaya 
  • 1961-1966 Kapten Udara Legowo
  • 1966-1968 Mayor Udara Sunardi
  • 1968-1971 Letkol TPT R Subijakto 
  • 1971-1975 Letkol PJP M Dasuki
  • 1975-1977 Mayor PNB Rukandi
  • 1977-1981 Letkol TPT A. Hidayat 
  • 1981-1983 Letkol SEN Sutrisno
  • 1983-1985 Mayor TEK Suyanto
  • 1985-1988 Letkol TEK Nanang 
  • 1988-1990 Letkol TEK Djumaedi
  • 1990-1993 Letkol TEK H.Karminto
  • 1993-1996 Kolonel LEK Agus Mudigdo 
  • 1996-1999 Letkol ADM Anon Subagiono, SE, S.ip
  • 1999-2000 Letkol TEK Waliyo 
Pangkalan TNI AU Wiriadinata
  • 2000-2002 Letkol Tek Purwadi Asmariyanto, SE
  • 2002-2004 Letkol Tek Mahendradatta, S.ip
  • 2004-2005 Letkol Pnb Hermuntarsih 
  • 2005-2007 Letkol Pnb Erwin Buana Utama
  • 2007-2009 Letkol Pnb Engkus Kuswara, S.ip
  • 2009-2010 Letkol Pnb Tata Budi Pratama 
  • 2010-Sekarang... Letkol Pnb Rudi Faisal
Sumber: http://rahilarini.blogspot.com/2014/01/sejarah-berdirinya-kota-tasikmalaya.html
Read more ...

Mengenal Kampung Naga Kampung Adat Di Tasikmalaya

Sebagai warga Tasikmalaya yang baik, saya akan memperkenalkan kepada Anda tentang kampung naga, kampung Adat yang saat ini masih kental dengan keadatannya dan tidak tergoyah oleh zaman. Kampung ini memegang teguh kode etik yang dulu dilakukan oleh para leluhur mereka.

Jika Anda berkunjung ke Tasikmalaya, di sini ada kampung yang sangat terkenal di Jawa Barat karena kearifan lokalnya. Kampung ini disebut Kampung Naga. Kenapa disebut Kampung Naga? Sebenarnya tidak ada hubungannya dengan hewan mitos naga tetapi memang nama sebutan saja.

Kampung Naga ini terletak di Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat. Yang unik letak kampung ini yang berada di lembah. Tidak hanya itu Kampung Naga ini ternyata masih mempertahankan kearifan lokal dan budaya yang mereka jaga sejak dahulu.

Untuk mencapai Kampung Naga ini dari Garut memakan waktu sekitar 1 jam. Letak kampung di sebelah kiri jalan. Uniknya adalah tata letak rumah dan arsitektur yang khas, sesaat sebelum masuk kampung kita harus melapor terlebih dahulu dan di sini tidak ada plang Desa Wisata.

Sudah lama saya ingin mengunjungi Kampung Naga, karena ternyata Kampung Naga ini bukanlah desa wisata tetapi keaslian kampung ini masih sangat terjaga.

Persawahan Kampung Naga yang berlokasi di Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat.

Dahulu sempat terdengar kabar kalau Kampung Naga ditutup untuk orang luar karena ada mereka tidak mau daerahnya dijadikan objek wisata. setelah banyak mengobrol dengan sesepuh Kampung mereka tidak mau menjadikan Kampung Naga ini menjadi Desa Wisata, karena alasannya tidak mau ditonton oleh orang ataupun turis yang datang.

Kampung Naga merupakan sebuah kampung adat yang masih lestari, di sini masyarakatnya masih memegang adat tradisi nenek moyang mereka. Mereka menolak intervensi dari pihak luar jika hal itu mencampuri dan merusak kelestarian kampung tersebut.

Namun, setahu saya sampai sekarang, saya belum dapat penjelasan kapan dan siapa pendiri serta apa yang melatarbelakangi terbentuknya kampung dengan budaya yang masih kuat ini.

Warga kampung Naga sendiri menyebut sejarah kampungnya dengan istilah "Pareum Obor". Pareum jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, yaitu mati, gelap. Dan obor itu sendiri berarti penerangan, cahaya, lampu. Jika diterjemahkan secara singkat yaitu, matinya penerangan. Hal ini berkaitan dengan sejarah Kampung Naga itu sendiri. Mereka tidak mengetahui asal-usul kampungnya.

Menurut masyarakat kampung naga, hal ini disebabkan oleh terbakarnya arsip/sejarah mereka pada saat kampung ini dibakar oleh Organisasi DI/TII Kartosoewiryo di masa lalu. Pada saat itu, DI/TII menginginkan terciptanya negara Islam di Indonesia. Kampung Naga yang saat itu lebih mendukung Soekarno dan kurang simpatik dengan niat organisasi tersebut. Oleh karena tidak mendapatkan simpati warga Kampung Naga maka DI/TII membumihanguskan perkampungan tersebut pada 1956.

Adapun versi sejarah yang diceritakan pada masa kewalian Sunan Gunung Jati, seorang abdinya yang bernama Singaparana ditugasi untuk menyebarkan agama Islam ke sebelah Barat. Kemudian ia sampai ke daerah Neglasari yang sekarang menjadi Desa Neglasari.

Di tempat tersebut sang abdi bersemedi dan dalam persemediannya Singaparana mendapat petunjuk, bahwa ia harus mendiami satu tempat yang sekarang disebut Kampung Naga.

Kampung ini berada di wilayah Desa Neglasari, Jawa Barat. Lokasi Kampung Naga tidak jauh dari jalan raya yang menghubungkan kota Garut dengan Kota Tasikmalaya. Kampung ini berada di lembah yang subur yang dibatasi oleh hutan keramat karena di dalam hutan tersebut terdapat makam leluhur masyarakat Kampung Naga.


Di sebelah selatan dibatasi oleh sawah-sawah penduduk, dan di sebelah utara dan timur dibatasi oleh Ci Wulan (Kali Wulan) yang sumber airnya berasal dari Gunung Cikuray di daerah Garut. Jarak tempuh dari kota Tasikmalaya ke Kampung Naga kurang lebih 30 kilometer, sedangkan dari kota Garut jaraknya 26 kilometer.

Untuk menuju Kampung Naga dari arah jalan raya Garut-Tasikmalaya harus menuruni tangga yang sudah ditembok. Nah yang unik banyak orang mencoba menghitung anak tangga ini, dan sampai sekarang jumlah pastinya tidak ada yang tahu. Pasalnya, setiap tiap orang yang menghitungnya hasilnya selalu berbeda-beda.

Penduduk Kampung Naga semuanya beragama Islam, sebagaimana masyarakat adat lainnya mereka juga sangat taat memegang adat-istiadat dan kepercayaan nenek moyangnya.

Walaupun mereka menyatakan memeluk agama Islam, mereka tetap menjaga warisan budaya leluhurnya. Menurut kepercayaan masyarakat Kampung Naga, dengan menjalankan adat-istiadat warisan nenek moyang berarti menghormati para leluhur atau karuhun.

Segala sesuatu yang datangnya bukan dari ajaran karuhun Kampung Naga, dan sesuatu yang tidak dilakukan karuhunnya dianggap sesuatu yang tabu. Apabila hal-hal tersebut dilakukan oleh masyarakat Kampung Naga berarti melanggar adat, tidak menghormati karuhun, hal ini pasti akan menimbulkan malapetaka.

Kepercayaan masyarakat Kampung Naga kepada mahluk halus masih dipegang kuat. Percaya adanya jurig cai, yaitu mahluk halus yang menempati air atau sungai terutama bagian sungai yang dalam. Kemudian "ririwa" yaitu mahluk halus yang senang mengganggu atau menakut-nakuti manusia pada malam hari.

Ada pula yang disebut "kunti anak" yaitu mahluk halus yang berasal dari perempuan hamil yang meninggal dunia dan suka mengganggu wanita yang sedang atau akan melahirkan.

Sedangkan tempat-tempat yang dijadikan tempat tinggal mahluk halus tersebut oleh masyarakat Kampung Naga disebut sebagai tempat yang angker atau sanget. Demikian juga tempat-tempat seperti makam Sembah Eyang Singaparna, Bumi Ageung dan masjid merupakan tempat yang dipandang suci bagi masyarakat Kampung Naga.

Bentuk rumah masyarakat Kampung Naga harus panggung, bahan rumah dari bambu dan kayu. Atap rumah harus dari daun nipah, ijuk, atau alang-alang, lantai rumah harus terbuat dari bambu atau papan kayu. Rumah harus menghadap ke utara atau ke sebelah selatan dengan memanjang kearah barat-timur.


Dinding rumah dari bilik atau anyaman bambu dengan anyaman sasag. Rumah tidak boleh dicat, kecuali dikapur atau dimeni. Bahan rumah tidak boleh menggunakan tembok, walaupun mampu membuat rumah tembok atau gedung (gedong).

Tips Mengunjungi Kampung Naga

1. Gunakanlah guide lokal orang Kampung Naga kalau anda belum pernah mengunjungi kampung ini, karena ada beberapa lokasi yang dikeramatkan dan tidak boleh difoto. Kalau Anda belum pernah ke sini dan tidak menggunakan guide lokal bisa melanggar larangan kampung ini.

2. Anda bisa menginap di sini, tetapi tidak bisa mendadak dan harus memberitahu kuncen terlebih dahulu.

3. Buat yang menginap di Kampung Naga jagalah kesopanan, seperti pakaian yang sopan dan jangan melanggar adat istiadat.

4. Di Kampung Naga tidak ada listrik, bawalah powerbank atau batere cadangan. Bisa mengisi baterai tapi di luar pemukiman adat. 

Saya menghimbau kepada Masyakat Tasikmalaya, mari kita melestarikan sejarah, karena daerah yang besar adalah yang menghargai pahlawan dan melestarikan budayanya.

Read more ...
Designed By VungTauZ.Com